Selasa, 08 November 2016

KEPUASAN KONSUMEN KONVESIONAL DALAM ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Ilmu ekonomi islam adalah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan didunia maupun kebutuhan di akhirat. Kebutuhan dapat di klasifikasikan sebagi kebutuhan primer, sekunder dan tersier.
Dalam usaha untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, banyak hal yang menjadikan batasan, seperti penghasilan, pertimbangan kebutuhan orang lain dan nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup. Suatu hal penting dalam membicarakan perilaku konsumsi adalah bahwa seorang konsumen selalu di anggap sebagai manusia yang rasional. Hal ini berarti bahwa seseorang diasumsikan mengetahui apa yang dikehendakinya dan menyusun tingkah lakunya dengan sadar, agar mendapat apa yang dikehendakinya. Berbeda dengan definisi yang disampaikan oleh para ahli ekonomi konvensional, bahwa manusia rasional adalah manusia yang berusaha mencapai kepuasan maksimum dalam kegiatan konsumsinya. Tentunya pendapat ini didasarkan oleh beberapa asumsi. Namun apakah semua asumsi yang digunakan adalah sesuai dengan perilaku konsumsi seorang muslim.[1] Untuk mengetahui sampai dimana manusia sebagai konsumen dapat memenuhi kebutuhannya sehingga dia merasakan kepuasan. Inilah yang dibahas dalam makalah singkat ini.
2.1  Rumusan Masalah
  1. Bagaimana pengertian kepuasan konsumen konvensional dalam islam?
  2. Bagaimana teori nilai guna dan hubungannya dengan teori maslahah?
3.1  Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui pengertian kepuasan konsumen konvensional dalam islam.
  2. Untuk mengetahui teori nilai guna dan hubungannya dengan teori maslahah.






BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian kepuasan konsumen konvensional dalam  islam.
Kepuasan konsumen adalah sejauh mana manfaat sebuah produk dirasakan (perceived) sesuai dengan apa yang diharapkan pelanggan (Amir, 2005). Kotler (2000) mengatakan bahwa kepuasan konsumen merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan antara kinerja produk yang ia rasakan dengan harapannya. Kepuasan atau ketidakpuasan konsumen adalah respon terhadap evaluasi ketidaksesuaian atau diskonfirmasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaian (Tse dan Wilson dalam Nasution, 2004).
Band (dalam Nasution, 2005) mengatakan bahwa kepuasan tercapai ketika kualitas memenuhi dan melebihi harapan, keinginan dan kebutuhan konsumen. Sebaliknya, bila kualitas tidak memenuhi dan melebihi harapan, keinginan dan kebutuhan konsumen, maka kepuasan tidak tercapai. Konsumen yang tidak puas terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya akan mencari perusahaan lain yang mampu menyediakan kebutuhannya.
Sedangkan menurut ekonomi islam konsumen dalam memenuhi kebutuhannya cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum. Kecenderungan memilih ditentukan oleh kebutuhan dan keinginan.[2] Dari analisa tersebut ditarik suatu pengertian bahwa kepuasan konsumen menurut ekonomi islam berkaitan erat dengan kebutuhan, keinginan, maslahah, manfaat, berkah, keyakinan dan kehalalan.
2.2  Teori nilai guna dan Hubungannya dengan teori maslahah
Di dalam teori ekonomi, kepuasan seseorang dalam mengonsumsi suatu barang di namakan utility atau nilai guna. Kalau kepuasaan terhadap suatu benda semakin tinggi, maka semakin tinggi nilai gunanya. Sebaliknya, bila kepuasan terhadap suatu benda semakin rendah maka semakin rendah pula nilai gunanya.
Dalam ekonomi islam kepuasan dikenal dengan maslahah dengan pengertian tepenuhi kebutuhan baik bersifat fisik maupun spiritual. Islam sangat mementingkan keseimbangan kebutuhan fisik dan non fisik yang didasarkan atas nilai-nilai syariah. Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasan harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu barang yang dikonsumsi adalah halal, baik secara dzatnya maupun secara memperolehnya, tidak bersikap isrof (royal ) dan tabzir (sia-sia). Oleh karena itu, kepuasan seorang muslim tidak didasarkan banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi, tetapi didasarkan atas berapa besar nilai ibadah yang didapatkan dari yang dikonsumsinya. Untuk mengetahui kepuasan seorang konsumen dalam teori ekonomi, dapat diilustrasikan dalam bentuk total utility (nilai guna total) dan marginal utility (nilai guna tambahan).[3] Agar lebih jelasnya, dapat dilihat pada table dibawah ini.
Tabel 5.1 Total Utility dan Marginal Utility
Jumlah Apel yang dimakan

Total Utility
Marginal Utility
0
0
0
1
30
30
2
50
20
3
65
15
4
69
4
5
68
-1
6
64
-4
7
57
-7

 Tabel diatas menunjukkan ketika makan apel yang keempat, total nilai gunanya meningkat dan nilai marginalnya positif. Ini bearti kepuasan seseorang memakan apel mencapai tingkat kepuasan yang maksimal pada apel yang ke empat. Namun, ketika makan apel yang ke lima total utility menurun dan marginal utilitynya adalah negativ. Bila ia makan apel lagi, akan mengurangi tingkat kepuasan. Dari contoh diatas, ditunjukkan apabila konsumen memakan lima, enam, dan tujuh apel kepuasan yang di dapat dari mengonsumsi apel tersebut lebih rendah daripada kepuasan yang didapat dari memakan delapan apel. Ini berarti lebih baik memakan delapan apel daripada sembilan apel, karena kepuasan yang diperoleh dari memakan delapan apel adalah lebih besar. Keadaan ini dapat digambarkan pada kurva 5.1 di bawah ini:


 
100
80                                                                                                                             
60
40
20
0                 
            1          2          3          4          5          6           7           8
-20
Keterangan :
                  = Jumlah apel yang dimakan
                  = Total Utility
                  = Marginal Utility
Kurva total utility bermula dari titik nol, yang berati tidak ada konsumsi, total utility adalah nol. Pada mulanya total utility adalah menaik, yang berarti kalau jumlah konsumsi apel bertambah, total utility bertambah. Kurva total utility mulai menurun pada waktu konsumsi apel melebihi empat buah. Kurva marginal utility turun dari kiri ke kanan bawah. Gambar ini menunjukkan hukum nilai guna marginal yang semakin menurun. Penurunan nilai guna dikenal dengan hukum nilai guna marginal yang semakin menurun (the law of diminishing marginal utility). Kurva nilai guna marginal memotong sumbu dasar sesudah apel kedua. Berarti sesudah perpotongan tersebut marginal utility adalah negatif. Dalam keadaan seperti ini, seorang konsumen harus menghentikan konsumsi terhadap barang tersebut. Karena hal itu menimbulkan disutility yang dalam istilah fiqih dikenal dengan mafsadah (kerusakan).
Teori nilai guna (utility) apabila di analisis dari teori maslahah, kepuasan bukan di dasarkan atas banyaknya barang di konsumsi tetap di dasarkan atas baik atau buruknya sesuatu itu dan lingkungannya.  Jika mengonsumsi sesuatu mendapatkan kemafsadatan pada diri atau lingkungan maka tindakan itu harus di tinggalkan sesuai dengan kaidah:
درء المفاسد أولى من جلب المنافع[4]
“Menolak segala bentuk kemudhorotan lebih di utamakan dari pada menarik manfaat.”

Jadi, perilaku konsumsi seorang muslim harus mengacu pada tujuan syariat, yaitu memelihara maslahah dan menghindari mudharat.
Dalam ekonomi konvensional, Ada beberapa asumsi yang dapat dijadikan pegangan dalam menghitung besar kecilnya kepuasan yang diperoleh konsumen. Asumsi-asumsi tersebut adalah:
a.       Tingkat utilitas total yang dicapai oleh seseorang konsumen merupakan fungsi dari kuantitas berbagai barang yang dikonsumsi.
b.      Konsumen akan memilih barang-barang yang akan memaksimalkan utilitasnya dengan tunduk kepada kendala anggaran mereka.
c.       Utilitas dapat di ukur secara kardinal.
d.      Marginal Utility (MU) dari setiap unit tambahan barang yang dikonsumsikan akan menurun. MU adalah perubahan total Utility (TU) yang disebabkan oleh tambahan satu unit barang yang dikonsumsi (cateris paribus).[5]
Kepuasan maksimal seseorang konsumen akan dicapai apabila seluruh pendapatannya telah dibelanjakan dan saat terpenuhinya syarat maksimum, yaitu tercapainya kondisi dimana utilitas marginal dari mata uang terakhir yang dibelanjakan untuk suatu barang tertentu tepat sama dengan utilitas marginal dari unit mata uang terakhir yang dibelanjakan untuk barang lain. Dengan kata lain, kondisi ini dapat diformulasikan dalam rumus sebagai berikut:
Akan tetapi, konsumsi dalam islam tidak hanya bertujuan untuk mencari kepuasan fisik saja, tetapi lebih mempertimbangkan aspek maslahah yang menjadi tujuan dari syariat islam (maqashid syariah). Teori maslahah cakupannya lebih luas dari teori utility. Maslahah dalam ekonomi islam, diterapkan sesuai dengan prinsip rasionalitas muslim, bahwa setiap pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya. Imam asy-syathiby mengatakan, bahwa kemaslahatan manusia dapat terrealisasi apabila lima unsure pokok dapat diwujudkan dan dipelihara yaitu: agama (ad-din), jiwa (an-nafs), akal (al-‘aql), keturunan (an-nasl) dan harta (al-maal).[6] Semua pemenuhan kebutuhan barang dan jasa adalah untuk mendukung terpeliharanya kelima unsure pokok tersebut.
Mengurangi konsumsi suatu barang sebelum mencapai kepuasan maksimal adalah prinsip konsumsi yang diajarkan Rosulullah, seperti makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Karena tambahan nilai guna yang akan diperoleh akan semakin menurun apabila seseorang terus mengonsumsinya. Pada akhirnya, tambahan nilai guna akan menjadi negative apabila konsumsi terhadap barang tersebut terus ditambah. Hukum nilai guna marginal yang semakin menurun (law of diminishing marginal utility) menjelaskan bahwa penambahan terus menerus dalam mengonsumsi suatu barang, tidak akan menambah kepuasan dalam konsumsi karena tingkat kepuasan terhadap barang tersebut akan semakin menurun.
Dalam teori ekonomi, setiap orang akan berusaha memaksimumkan kepuasan dari barang-barang yang di konsumsinya. Untuk mewujudkannya prinsip pemaksimuman kepuasan konsumen yang mempunyai pendapatan terbatas, dilakukan dengan pendekatan melalui kurva kepuasan sama (indifference curve/IC) dan garis anggaran pengeluaran (budget line).
a.       Kurva indiferen adalah kurva yang menunjukkan berbagai kombinasi konsumsi dua macam barang yang memberikan tingkat kepuasan yang sama bagi seorang konsumen[7]. Pendekatan kurva indifference menggunakan asumsi-asumsi. Dua asumsinya sama dengan asumsi pendekatan utilitas, sedangkan dua asumsi yang lain adalah berbeda dengan pendekatan utilitas.[8]
Asumsi-asumsi kurva indifference, yaitu:
·         Semakin jauh kurva indifference dari titik origin, semakin tinggi tingkat kepuasannya.
Gambar 1. Kurva Indiferensi
·         Kurva indifference menurun dari kiri atas ke kanan bawah, cembung ke titik origin.
  Gambar 2. Peningkatan Kepuasan konsumen


·         Kurva indifference tidak saling berpotongan.
 Gambar 3. Kurva indifference tidak mungkin saling berpotongan.
Sementara itu dalam islam kita mengenal adanya kurva iso-maslahah. Kurva iso-maslahah atau biasa disingkat IM menunjukkan dua barang yang memberikan mashlahah yang sama. Setiap konsumen muslim memiliki alternatif untuk mengkombinasikan barang dan jasa yang di perkirakan memberikan mashlahah yang sama. Hampir mirip dengan kurva indiferensi semakin tinggi kurva iso mashlahah artinya semakin banyak barang yang di konsumsi semakin tinggi pula tingkat mashlahah konsumen. Dalam Islam di akui bahwa lebih banyak barang (yang halal tentunya) akan memberikan kepuasan yang lebih tinggi. Oleh karena itu grafik untuk 2 barang halal pada kurva iso-mashlahah mirip dengan kurva indiferensi.
Gambar 4. Kurva IM barang halal X dan Y
Dalam konsep islam sangat penting untuk pembagian jenis barang dan jasa yang halal dan haram. Karenanya penting untuk menggambarkannya dalam fungsi mashlahah. Sebagai contoh: Apabila seorang konsumen muslim di hadapkan pada pilihan barang X haram dan barang Y halal. Dalam grafik di gambarkan bahwa kurva IM bergerak menjauhi barang X haram. Hal ini menunjukkan bahwa barang Y halal yang di konsumsi semakin banyak dan semakin sedikit mengonsumsi barang X haram. Keadaan menambah konsumsi barang Y halal dan menjauhi barang x haram tentunya dapat memberikan tingkat mashlahah yang tinggi.
Gambar 5. Kurva IM Barang haram X dan Halal Y
b.      Budget Line
Keinginan untuk memaksimalkan tingkat kepuasan memiliki batasan yaitu berapa besaran dana yang tersedia untuk memiliki kedua jenis barang tersebut. Dalam ilmu ekonomi di sebut garis anggaran. Garis anggaran[9] atau budget Line adalah kurva yang menunjukan kombinasi konsumsi dua macam barang yang membutuhkan biaya atau (anggaran) yang sama besar.
 Gambar 6. Budget Line
Tingkat kepuasan optimum dapat di capai apabila kurva indiferensi bersinggungan dengan budget line. Di sebut demikian karena titik ini mempertemukan tingkat kepuasan konsumen dengan budget line yang di mililki oleh konsumen yang bersangkutan.
 Gambar 7. Tingkat kepuasan optimum konsumen
Dalam konsep islam kita mengenal adanya Budget and Sharia Line (BSL) atau garis anggaran dan syariah. Secara posisi BSL terletak di bawah garis anggaran (BL). Hal ini di karenakan adanya larangan mengonsumsi barang yang haram, larangan mengonsumsi secara berlebih-lebihan (boros), larangan riba dan adanya kewajiban untuk berzakat.








BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kepuasan konsumen adalah sejauh mana manfaat sebuah produk dirasakan (perceived) sesuai dengan apa yang diharapkan pelanggan sampai mencapai batas maksimum rasa puas itu. Sedangkan dalam islam kepuasan konsumen adalah memenuhi kebutuhannya cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum yang berkaitan erat dengan kebutuhan, keinginan, maslahah, manfaat, berkah, keyakinan dan kehalalan. Untuk mengetahui kepuasan seorang konsumen dalam teori ekonomi, dapat diilustrasikan dalam bentuk total utility (nilai guna total) dan marginal utility (nilai guna tambahan). Untuk mewujudkannya prinsip pemaksimuman kepuasan konsumen yang mempunyai pendapatan terbatas, dilakukan dengan pendekatan melalui kurva kepuasan sama (indifference curve/IC) dan garis anggaran pengeluaran (budget line). Sementara itu dalam islam kita mengenal adanya kurva iso-maslahah.










DAFTAR PUSTAKA
Sukirno, Sadono. Pengantar Teori Mikroekonomi. edisi ketiga. Jakarta: Rajawali pers.2002
As-syatibi, Abu Ishak. Al-Muwafaqat Fi Ushul As-Syari'ah. Beirut: Dar al-mar'rifah.t.t
Rozalinda. Ekonomi Islam. Jakarta: RajaGrafindo persada. 2014
Prathama, Rahardja. Pengantar ilmu ekonomi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas.
Haidar, Ali. Durar Al-hukkam Syarah Majalah Al-ahkam, Beirut: Dar Al Kutub Al-ilmiah, t.th
Muhammad, ekonomi mikro dalam prespektif islam, BPFE-Yogyakarta, edisi:2004/2005
Rahardja, Pratama dan Mandala Manurung, Teori Ekonomi Mikro: Suatu Pengantar, Jakarta: LPFE UI, 2004




[1] Muhammad, ekonomi mikro dalam prespektif islam, (BPFE-Yogyakarta), edisi:2004/2005. Hlm:187
[2] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta atas kerja sama dengan Bank Indonesia: Ekonomi Islam, PT Raja Grapindo, Jakarta, 2008, hlm: 28
[3] Sadono, sukirno. Pengantar teori mikro ekonomi. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) edisi ke 3, hlm:152
[4]  Ali Haidar, Durar Al-hukkam Syarah Majalah Al-ahkam, (Beirut: Dar Al Kutub Al-ilmiah, t.th) jilid 1-3, pasal 37, hlm. 40
[5] Muhammad, ekonomi mikro dalam prespektif islam, (BPFE-Yogyakarta), edisi:2004/2005. Hlm: 189

[6] Abu isak Asy-syathiby, al-muwafaqot fi ushul as-syariah, (Beirut: Dar al-mar’ifah, t.th), jilid II, hlm.08.
[7] Rahardja, Prathama. Pengantar ilmu ekonomi. (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas), edisi III, hlm:78
[8] Ocid, hlm: 190
[9] Pratama Rahardja dan Mandala Manurung. Teori Ekonomi Mikro: Suatu Pengantar (Jakarta: LPFE UI, 2004) hal. 84

Tidak ada komentar:

Posting Komentar