BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu ekonomi islam adalah ilmu yang mempelajari bagaimana
manusia memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan didunia maupun kebutuhan di akhirat.
Kebutuhan dapat di klasifikasikan sebagi kebutuhan primer, sekunder dan
tersier.
Dalam usaha untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, banyak
hal yang menjadikan batasan, seperti penghasilan, pertimbangan kebutuhan orang
lain dan nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup. Suatu hal penting dalam membicarakan
perilaku konsumsi adalah bahwa seorang konsumen selalu di anggap sebagai
manusia yang rasional. Hal ini berarti bahwa seseorang diasumsikan mengetahui
apa yang dikehendakinya dan menyusun tingkah lakunya dengan sadar, agar
mendapat apa yang dikehendakinya. Berbeda dengan definisi yang disampaikan oleh
para ahli ekonomi konvensional, bahwa manusia rasional adalah manusia yang
berusaha mencapai kepuasan maksimum dalam kegiatan konsumsinya. Tentunya
pendapat ini didasarkan oleh beberapa asumsi. Namun apakah semua asumsi yang
digunakan adalah sesuai dengan perilaku konsumsi seorang muslim.[1]
Untuk mengetahui sampai dimana manusia sebagai konsumen dapat memenuhi
kebutuhannya sehingga dia merasakan kepuasan. Inilah yang dibahas dalam makalah
singkat ini.
2.1 Rumusan Masalah
- Bagaimana pengertian kepuasan konsumen konvensional dalam islam?
- Bagaimana teori nilai guna dan hubungannya dengan teori maslahah?
3.1 Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui pengertian kepuasan konsumen konvensional dalam islam.
- Untuk mengetahui teori nilai guna dan hubungannya dengan teori maslahah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian kepuasan konsumen konvensional
dalam islam.
Kepuasan
konsumen adalah sejauh mana manfaat sebuah produk dirasakan (perceived) sesuai
dengan apa yang diharapkan pelanggan (Amir, 2005). Kotler (2000) mengatakan
bahwa kepuasan konsumen merupakan tingkat perasaan seseorang setelah
membandingkan antara kinerja produk yang ia rasakan dengan harapannya. Kepuasan
atau ketidakpuasan konsumen adalah respon terhadap evaluasi ketidaksesuaian
atau diskonfirmasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual
produk yang dirasakan setelah pemakaian (Tse dan Wilson dalam Nasution, 2004).
Band
(dalam Nasution, 2005) mengatakan bahwa kepuasan tercapai ketika kualitas
memenuhi dan melebihi harapan, keinginan dan kebutuhan konsumen. Sebaliknya,
bila kualitas tidak memenuhi dan melebihi harapan, keinginan dan kebutuhan
konsumen, maka kepuasan tidak
tercapai. Konsumen yang tidak puas terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya
akan mencari perusahaan lain yang mampu menyediakan kebutuhannya.
Sedangkan menurut ekonomi islam konsumen dalam memenuhi
kebutuhannya cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah
maksimum. Kecenderungan memilih ditentukan oleh kebutuhan dan keinginan.[2]
Dari analisa tersebut ditarik suatu pengertian bahwa kepuasan konsumen menurut
ekonomi islam berkaitan erat dengan kebutuhan, keinginan, maslahah, manfaat, berkah,
keyakinan dan kehalalan.
2.2 Teori nilai guna dan
Hubungannya dengan teori maslahah
Di dalam teori ekonomi, kepuasan seseorang dalam mengonsumsi suatu
barang di namakan utility atau nilai guna. Kalau kepuasaan terhadap suatu benda
semakin tinggi, maka semakin tinggi nilai gunanya. Sebaliknya, bila kepuasan
terhadap suatu benda semakin rendah maka semakin rendah pula nilai gunanya.
Dalam ekonomi islam
kepuasan dikenal dengan maslahah dengan pengertian tepenuhi kebutuhan baik
bersifat fisik maupun spiritual. Islam sangat mementingkan keseimbangan
kebutuhan fisik dan non fisik yang didasarkan atas nilai-nilai syariah. Seorang muslim untuk
mencapai tingkat kepuasan harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu barang
yang dikonsumsi adalah halal, baik secara dzatnya maupun secara memperolehnya,
tidak bersikap isrof
(royal ) dan tabzir (sia-sia). Oleh karena itu, kepuasan seorang muslim tidak
didasarkan banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi, tetapi didasarkan atas
berapa besar nilai ibadah yang didapatkan dari yang dikonsumsinya. Untuk mengetahui
kepuasan seorang konsumen dalam teori ekonomi, dapat diilustrasikan dalam
bentuk total utility (nilai guna total) dan marginal utility (nilai
guna tambahan).[3] Agar lebih jelasnya,
dapat dilihat pada table dibawah ini.
Tabel 5.1
Total Utility dan Marginal Utility
Jumlah Apel
yang dimakan
|
Total Utility
|
Marginal Utility
|
0
|
0
|
0
|
1
|
30
|
30
|
2
|
50
|
20
|
3
|
65
|
15
|
4
|
69
|
4
|
5
|
68
|
-1
|
6
|
64
|
-4
|
7
|
57
|
-7
|
Tabel diatas menunjukkan ketika makan apel
yang keempat, total nilai gunanya meningkat dan nilai marginalnya positif. Ini
bearti kepuasan seseorang memakan apel mencapai tingkat kepuasan yang maksimal
pada apel yang ke empat. Namun, ketika makan apel yang ke lima total utility
menurun dan marginal utilitynya adalah negativ. Bila ia makan apel lagi, akan
mengurangi tingkat kepuasan. Dari contoh diatas, ditunjukkan apabila konsumen
memakan lima, enam, dan tujuh apel kepuasan yang di dapat dari mengonsumsi apel
tersebut lebih rendah daripada kepuasan yang didapat dari memakan delapan apel.
Ini berarti lebih baik memakan delapan apel daripada sembilan apel, karena
kepuasan yang diperoleh dari memakan delapan apel adalah lebih besar. Keadaan
ini dapat digambarkan pada kurva 5.1 di bawah ini:
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]()
1 2 3 4 5 6 7 8
![]() |
Keterangan :



Kurva total utility
bermula dari titik nol, yang berati tidak ada konsumsi, total utility adalah nol.
Pada mulanya total utility adalah menaik, yang berarti kalau jumlah konsumsi
apel bertambah, total utility bertambah. Kurva total utility mulai menurun pada
waktu konsumsi apel melebihi empat buah. Kurva marginal utility turun dari kiri
ke kanan bawah. Gambar ini menunjukkan hukum nilai guna marginal yang semakin
menurun. Penurunan nilai guna dikenal dengan hukum nilai guna marginal yang
semakin menurun (the law of diminishing marginal utility). Kurva nilai guna
marginal memotong sumbu dasar sesudah apel kedua. Berarti sesudah perpotongan
tersebut marginal
utility adalah negatif.
Dalam keadaan seperti ini, seorang konsumen harus menghentikan konsumsi
terhadap barang tersebut. Karena hal itu menimbulkan disutility yang dalam
istilah fiqih dikenal dengan mafsadah (kerusakan).
Teori nilai guna (utility)
apabila di analisis dari teori maslahah, kepuasan bukan di dasarkan atas banyaknya
barang di konsumsi tetap di dasarkan atas baik atau buruknya sesuatu itu dan
lingkungannya. Jika mengonsumsi sesuatu
mendapatkan kemafsadatan pada diri atau lingkungan maka tindakan itu harus di
tinggalkan sesuai dengan kaidah:
درء المفاسد أولى
من جلب المنافع[4]
“Menolak segala bentuk kemudhorotan
lebih di utamakan dari pada menarik manfaat.”
Jadi, perilaku konsumsi
seorang muslim harus mengacu pada tujuan syariat, yaitu memelihara maslahah dan
menghindari mudharat.
Dalam ekonomi
konvensional, Ada beberapa asumsi yang dapat
dijadikan pegangan dalam menghitung besar kecilnya kepuasan yang diperoleh
konsumen. Asumsi-asumsi tersebut adalah:
a.
Tingkat utilitas total yang dicapai oleh seseorang konsumen merupakan
fungsi dari kuantitas berbagai barang yang dikonsumsi.
b.
Konsumen akan memilih barang-barang yang akan memaksimalkan utilitasnya
dengan tunduk kepada kendala anggaran mereka.
c.
Utilitas dapat di ukur
secara kardinal.
d.
Marginal Utility (MU) dari setiap
unit tambahan barang yang dikonsumsikan akan menurun. MU adalah perubahan total
Utility (TU) yang disebabkan oleh tambahan satu unit barang yang dikonsumsi
(cateris paribus).[5]
Kepuasan
maksimal seseorang konsumen akan dicapai apabila seluruh pendapatannya telah
dibelanjakan dan saat terpenuhinya syarat maksimum, yaitu tercapainya kondisi
dimana utilitas marginal dari mata uang terakhir yang dibelanjakan untuk suatu
barang tertentu tepat sama dengan utilitas marginal dari unit mata uang
terakhir yang dibelanjakan untuk barang lain. Dengan kata lain, kondisi ini
dapat diformulasikan dalam rumus sebagai berikut:

Akan tetapi, konsumsi
dalam islam tidak hanya bertujuan untuk mencari kepuasan fisik saja, tetapi
lebih mempertimbangkan aspek maslahah yang menjadi tujuan dari syariat islam
(maqashid syariah). Teori maslahah cakupannya lebih luas dari teori utility. Maslahah
dalam ekonomi islam, diterapkan sesuai dengan prinsip rasionalitas muslim,
bahwa setiap pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan maslahah yang
diperolehnya. Imam asy-syathiby mengatakan, bahwa
kemaslahatan manusia dapat terrealisasi apabila lima unsure pokok dapat
diwujudkan dan dipelihara yaitu: agama (ad-din), jiwa (an-nafs), akal
(al-‘aql), keturunan (an-nasl) dan harta (al-maal).[6]
Semua pemenuhan kebutuhan barang dan jasa adalah untuk mendukung terpeliharanya
kelima unsure pokok tersebut.
Mengurangi konsumsi
suatu barang sebelum mencapai kepuasan maksimal adalah prinsip konsumsi yang
diajarkan Rosulullah, seperti makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang.
Karena tambahan nilai guna yang akan diperoleh akan semakin menurun apabila
seseorang terus mengonsumsinya. Pada akhirnya, tambahan nilai guna akan menjadi
negative apabila konsumsi terhadap barang tersebut terus ditambah. Hukum nilai guna marginal
yang semakin menurun (law of diminishing marginal utility) menjelaskan bahwa
penambahan terus menerus dalam mengonsumsi suatu barang, tidak akan menambah
kepuasan dalam konsumsi karena tingkat kepuasan terhadap barang tersebut akan
semakin menurun.
Dalam teori
ekonomi, setiap orang akan berusaha memaksimumkan kepuasan dari barang-barang
yang di konsumsinya. Untuk mewujudkannya prinsip pemaksimuman kepuasan konsumen
yang mempunyai pendapatan terbatas, dilakukan dengan pendekatan melalui kurva
kepuasan sama (indifference curve/IC) dan garis anggaran pengeluaran (budget
line).
a.
Kurva indiferen adalah kurva yang
menunjukkan berbagai kombinasi konsumsi dua macam barang yang memberikan
tingkat kepuasan yang sama bagi seorang konsumen[7].
Pendekatan kurva indifference menggunakan asumsi-asumsi. Dua asumsinya
sama dengan asumsi pendekatan utilitas, sedangkan dua asumsi yang lain adalah
berbeda dengan pendekatan utilitas.[8]
Asumsi-asumsi
kurva indifference, yaitu:
·
Semakin jauh kurva indifference dari titik origin, semakin tinggi
tingkat kepuasannya.
·
Kurva indifference menurun
dari kiri atas ke kanan bawah, cembung ke titik origin.
·
Kurva indifference tidak
saling berpotongan.
Sementara itu dalam islam kita mengenal adanya kurva iso-maslahah.
Kurva iso-maslahah atau biasa disingkat IM menunjukkan dua
barang yang memberikan mashlahah yang sama. Setiap konsumen muslim memiliki
alternatif untuk mengkombinasikan barang dan jasa yang di perkirakan memberikan
mashlahah yang sama. Hampir mirip dengan kurva indiferensi semakin tinggi kurva
iso mashlahah artinya semakin banyak barang yang di konsumsi semakin tinggi
pula tingkat mashlahah konsumen. Dalam Islam di akui bahwa lebih banyak barang
(yang halal tentunya) akan memberikan kepuasan yang lebih tinggi. Oleh karena
itu grafik untuk 2 barang halal pada kurva iso-mashlahah mirip dengan kurva
indiferensi.
Dalam konsep islam sangat penting untuk pembagian jenis barang dan jasa
yang halal dan haram. Karenanya penting untuk menggambarkannya dalam fungsi
mashlahah. Sebagai contoh: Apabila seorang konsumen muslim di hadapkan pada
pilihan barang X haram dan barang Y halal. Dalam grafik di gambarkan bahwa
kurva IM bergerak menjauhi barang X haram. Hal ini menunjukkan bahwa barang Y
halal yang di konsumsi semakin banyak dan semakin sedikit mengonsumsi barang X
haram. Keadaan menambah konsumsi barang Y halal dan menjauhi barang x haram
tentunya dapat memberikan tingkat mashlahah yang tinggi.
b.
Budget Line
Keinginan untuk memaksimalkan tingkat kepuasan memiliki batasan yaitu
berapa besaran dana yang tersedia untuk memiliki kedua jenis barang tersebut.
Dalam ilmu ekonomi di sebut garis anggaran. Garis anggaran[9]
atau budget Line adalah kurva yang menunjukan kombinasi konsumsi dua
macam barang yang membutuhkan biaya atau (anggaran) yang sama besar.
Tingkat kepuasan optimum dapat di capai apabila kurva indiferensi
bersinggungan dengan budget line. Di sebut demikian karena titik ini
mempertemukan tingkat kepuasan konsumen dengan budget line yang di mililki oleh
konsumen yang bersangkutan.
Dalam konsep islam kita mengenal adanya Budget and Sharia Line (BSL)
atau garis anggaran dan syariah. Secara posisi BSL terletak di bawah garis anggaran
(BL). Hal ini di karenakan adanya larangan mengonsumsi barang yang haram,
larangan mengonsumsi secara berlebih-lebihan (boros), larangan riba dan adanya
kewajiban untuk berzakat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kepuasan konsumen adalah sejauh mana
manfaat sebuah produk dirasakan (perceived) sesuai dengan apa yang diharapkan
pelanggan sampai mencapai batas maksimum rasa puas itu. Sedangkan dalam islam
kepuasan konsumen adalah memenuhi
kebutuhannya cenderung untuk memilih barang dan jasa yang
memberikan maslahah maksimum yang berkaitan
erat dengan kebutuhan, keinginan, maslahah, manfaat, berkah, keyakinan dan
kehalalan. Untuk
mengetahui kepuasan seorang konsumen dalam teori ekonomi, dapat diilustrasikan
dalam bentuk total utility (nilai guna total) dan marginal
utility (nilai guna tambahan). Untuk
mewujudkannya prinsip pemaksimuman kepuasan konsumen yang mempunyai pendapatan
terbatas, dilakukan dengan pendekatan melalui kurva kepuasan sama (indifference
curve/IC) dan garis anggaran pengeluaran (budget line). Sementara
itu dalam islam kita mengenal adanya kurva iso-maslahah.
DAFTAR PUSTAKA
Sukirno, Sadono. Pengantar
Teori Mikroekonomi. edisi ketiga. Jakarta: Rajawali pers.2002
As-syatibi, Abu Ishak. Al-Muwafaqat
Fi Ushul As-Syari'ah. Beirut: Dar al-mar'rifah.t.t
Rozalinda. Ekonomi Islam. Jakarta: RajaGrafindo
persada. 2014
Prathama, Rahardja. Pengantar
ilmu ekonomi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas.
Haidar, Ali. Durar Al-hukkam
Syarah Majalah Al-ahkam, Beirut: Dar Al Kutub Al-ilmiah, t.th
Muhammad, ekonomi mikro dalam
prespektif islam, BPFE-Yogyakarta, edisi:2004/2005
Rahardja, Pratama dan Mandala
Manurung, Teori Ekonomi Mikro: Suatu Pengantar, Jakarta: LPFE UI, 2004
[2] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI)
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta atas kerja sama dengan Bank Indonesia:
Ekonomi Islam, PT Raja Grapindo, Jakarta, 2008, hlm: 28
[3] Sadono, sukirno. Pengantar
teori mikro ekonomi. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) edisi ke 3,
hlm:152
[4] Ali Haidar, Durar
Al-hukkam Syarah Majalah Al-ahkam, (Beirut: Dar Al Kutub Al-ilmiah, t.th)
jilid 1-3, pasal 37, hlm. 40
[6] Abu isak Asy-syathiby, al-muwafaqot fi ushul as-syariah, (Beirut:
Dar al-mar’ifah, t.th), jilid II, hlm.08.
[7] Rahardja, Prathama. Pengantar
ilmu ekonomi. (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas), edisi III, hlm:78
[9] Pratama Rahardja dan Mandala Manurung. Teori
Ekonomi Mikro: Suatu Pengantar (Jakarta: LPFE UI, 2004) hal. 84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar