BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Salam
As-salam
secara bahasa memiliki banyak arti, di antaranya adalah at-taqdim waat
taslim (mendahulukan dan menyerahkan).[1]
Menurut pendapat Az-Zuhaily, salam adalah jual beli barang dengan sistem
pesanan di antara pembeli (musalam) dan penjual (muslam alaih)
dengan menjelaskan spesifikasi atau karakternya tertentu yang ditangguhkan
penyerahannya pada waktu tertentu dengan pembayarannya di lakukan secara tunai
di majlis akad.[2]
Secara
sederhana menurut saya, akad jual beli dengan akad Salam adalah suatu
transaksi pembelian barang yang di jelaskan spesifikasinya yang diserahkan
kemudian hari, sedangkan pembayarannya dilakukan di muka (pada saat akad
terjadi).
B. Landasan Hukum Salam[3]
v Al-Qur’an
1. Surat
al-baqaroh ayat 282
Jual
beli dengan sistem pesanan (salam) diperbolehkan, yang berlandaskan pada
firman Allah SWT pada surat al-Baqoroh
ayat 282[4],
yang berbunyi:
يَآ
اَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُج وَلْيَكْتُبْ
بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِّالْعَدْلِج
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar.”[5]
2.
Surat al-maidah ayat 1
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Artiya:
“hai orang beriman, penuhilah akad-akadmu.”
Ø Tafsiran landasan hukum
Salam:
Ø
Surat Al-Baqoroh ayat 282:
·
Surat al-baqoroh ayat 282: (Hai orang-orang yang
beriman! Jika kamu mengadakan utang piutang), maksudnya muamalah seperti jual
beli, sewa-menyewa, utang-piutang dan lain-lain (secara tidak tunai),
misalnya pinjaman atau pesanan (untuk waktu yang ditentukan) atau
diketahui atau di pastikan antara si pembeli dan si penjual, (maka
hendaklah kamu menuliskannya) maksudnya bukan hanya untuk menuliskannya
saja namun harus dengan mempersaksikan untuk mencegah atau merealisasikan dan
menghilangkan pertikaian di kemudian hari nantinya. (Dan hendaklah
ditulis) surat utang itu (di antara kamu oleh seorang penulis dengan
adil) maksudnya dalam penulisan ini tidak perlu seorang yang benar untuk
menuliskannya, namun yang terpenting adalah ia menuliskannya dengan benar tanpa
menambah atau mengurangi jumlah utang atau jumlah temponya. [6]
Menurut
saya transaksi dengan menggunakan akad salam atau pesanan itu terdapat antara
dua pihak orang yang mana pihak pertama berkehendak sebagai orang yang menjual,
pihak kedua sebagai orang yang membelinya. Dalam transaksi ini terjadi dengan
penangguhan karena obyek yang dibeli masih dalam pesanan serta membayarnya
dengan cara tunai. Dalam akad salam tidak sah menangguhkan pembayaran itu
dengan tidak jelas tempo pembayarannya, jika mengandung unsur ketidakjelasan
waktu pembayarannya maka akan mengakibatkan terjadinya riba.
Dalam
ayat tersebut, seseorang yang melakukan transaksi pesanan atau utang piutang
harus adanya bukti hitam di atas putih atau bukti penulisan. Adapun penulisan
dalam transaksi tersebut harus diketahui oleh kedua belah pihak bukan hanya
melibatkan salah satu pihak saja, karena jika hanya salah satu pihak yang
mengetahui akan mengakibatkan hal yang tidak diinginkan seperti: penyelewengan
penuduhan. Oleh karena itu, penulisan tersebut dilakukan oleh penulis diluar
dari kedua belah pihak yang bertransaksi dengan cara yang benar dan adil, akan
tetapi masih dalam persaksian diantara keduannya.
Ø Surat
al-maidah ayat 1
(Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah olehmu perjanjian itu) baik perjanjian yang terpatri di antara kamu dengan Allah maupun dengan sesama
manusia.
Menurut saya, kata (أَوْفُوا بِالْعُقُود) itu bermakna bahwa “penuhilah akad-akad itu,” maksudnya
seseorang mempunyai keharusan untuk berpegang dan menepati janji dalam jual
beli dan memiliki hak khiyar dalam jual beli. Dari
situ sudah sangat jelas bahwa dalam melakukan hal apapun terutama dalam hal
jual beli harus mengadakan adanya akad perjanjian agar pembeli dan penjual
tidak saling merasakan rugi atau penyesalan.
v Hadist
عن ابن عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قال: قَدِمَ النبي صلى
الله عليه و سلم الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ
وَالثَّلَاثَ.
فقال: من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ
وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ . متفق عليه[7]
Artinya: “Dari
sahabat Ibnu Abbas radhiallhu ‘anhuma, ia berkata: “Ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah
biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka
beliau bersabda: ‘Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan
dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam
timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang
telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.'” (Muttafaqun
‘alaih)
Kesimpulan
hadis:
Disyaratkan
dalam salam apapun yang disyaratkan dalam jual beli, karena salam merupakan
salah satu jenis jual beli. Apa yang disepakati harus dari hal-hal yang
diperbolehkan, harus ada keridhaan, barang yang dijadikan objek salam harus
berupa barang yang memang boleh dijual, harus ada kemampuan membayar ketika
tiba waktu pembayarannya, harga dan barang harus sama-sama diketahui.[8]
Disamping
syarat-syarat ini, ada tambahan syarat dalam salam, yaitu kembali kepada
tambahan batasan dan kebebasannya, agar tidak menimbulkan perselisihan dan
permusuhan. Syarat-syarat terpenting tersebut adalah:
1. Harus
dijelaskan ukuran barang yang diserahkan sebagai salam berdasarkan takaran atau
timbangan yang diakui syariat, kalau memang barangnya dapat ditimbang atau
ditakar atau diukur kalau memang termasuk barang yang harus diukur, atau
dihitung jika merupakan barang yang dihitung, selag tidak ada perbedaan yang
mencolok antara yang besar dan yang kecil atau ukuran lainnya untuk barang yang
dihitung.
2. Penyerahan
barang ditunda, dan waktunya harus jelas, tidak diserahkan pada saat itu pula
dan tidak boleh tanpa waktu yang jelas.
3. Pembayaran
harga harus dilaksanakan ditempat pada saat akad. Hal ini diambilkan dari sabda
Rasulullah SAW,
“hendaklah dia
melakukan salaf, karena salaf merupakan jual beli yang pembayarannya dimuka,
sedang barangnya diserahkan dibelakang hari hingga waktu yang ditentukan.”
4. Harus
ada jaminan dan bukan pada keberadaan barang. Inilah yang memungkinkan
dilaksanakannya akad, meskipun pemenuhannya berasal dari sesuatu yang belum ada
ditangan penjual, karena dia akan memenuhinya dari buah-buahan atau hasil
tanaman yang memang belum ada pada saat dilakukan akad.
Dengan begitu jelaslah
bahwa tercakup dalam larangan sabda Rasulullah SAW, “janganlah kalian
menjual sesuatu yang tidak ada ditanganmu.” Akad untuk salam ini sesuai
dengan qiyas yang mengetatkannya dengan menyebutkan beberapa batasan tertentu,
yang sama sekali tidak didukung dalil.[9]
Ø Asbabun Nuzul
1. Surat
al-baqaroh ayat 283
Pada
waktu Rosulullah SAW datang ke madinah pertama kali, orang-orang penduduk asli
biasa menyewakan kebunnya dalam waktu satu, dua atau tiga tahun. Oleh sebab itu
rosul bersabda:”Barang siapa menyewakan (mengutangkan)sesuatu hendaklah
dengan timbangan atau ukuran yang tertentu dan dalam jangkawaktu yang tertentu
pula” sehubungan dengan itu allah swt menurunkan ayat 282 sebagai perintah
apabila mereka utang piutang maupun muamalah dalam jangka waktu tertentu
hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi. Hal mana untuk menjaga
terjdinya sengketa pada waktu-waktu yang akan dating. (Hr. Bukhori dari
Sofyan Bin Uyainah dari IbnuAbi Najih dari Abdillah bin Katsir dari Minhal dari
ibnu Abbas).
2. Surat
al-maidah ayat 1
Pada
suatu waktu ada seorang laki-laki datang kepada Ibnu Mas’ud seraya berkata”
ikatlah janji dengan ku!” sehubungan dengan itu Abdillah bin Mas’ud tidak
menjawab, yang kemudian dia menghadap kepada Rasulullah SAW menyampaikan apa
yang disampaikan laki-laki itu. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat
ke-1 sebagai ketegasan, agar orang-orang yang beriman menguatkan janji-janji
mereka dan memenuhinya.
C. Rukun
Ba’i As-Salam
Pelaksanaan
bai’ as-salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini:
a. Muslam
atau pembeli
b. Muslam
ilaih atau penjual
c. Modal
atau uang
d. Muslam
fiihi atau barang
e. Sighat
atau ucapan. Maksudnya serah terima antara pihak penjual dan pembeli.[10]
D. Syarat
Bai’ as-Salam
a.
Pelaku
1. Ada
penjual dan pembeli
2. Cukup
hukum (baligh, berakal dan sehat)
3. Suka
rela, tidak ada paksaan diantara penjual dan pembeli.
b.
Obyek akad
Ø Modal
Transaski Ba’i as-Salam
1. Modal
harus diketahui
Maksudnya
modal yang harus diketahui dari spesifik, jenis, kualitas serta kuantitasnya.
2. Pembayarannya
harus berbentuk uang tunai.
3. Penerimaan
pembayaran Salam
Maksudnya
pembayaran salam dilakukan pada saat akad berlangsung. Hal tersebut dimaksudkan
agar pembayaran yang diberikan oleh al-muslam (pembeli) tidak di jadikan
sebagai utang penjual. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah praktik riba
melalui mekanisme salam.
Ø Al-Muslam
Fiihi (Barang)
1. Barang
yang sah untuk diperjual belikan.
2. Barang
tersebut memiliki kriteria yang jelas.
3. Barang
tersebut harus dapat ditakar/ditimbang
4. Barang
pesanan tersedia di pasar pada saat jatuh tempo.
5. Waktu
penyerahan barang harus jelas, tidak harus tanggal tertentu.
Ø Ijab
qabul
1. Harus
jelas dengan siapa dia berakad
2. Penyebutan
barang pada saat akad berlangsung.[11]
E. Ilustrasi
dan skema akad salam
Jual
beli salam pada perbankan syariah lazim ditetapkan pada pembelian alat-alat
pertanian, barang-barang industri dan kebutuhan rumah tangga. Nasabah yang
memerlukan biaya untuk memproduksi barang-barang industri bisa mengajukan
permohonan pembiayaan ke bank syariah dengan skim jual-beli salam.[12]
Dalam
hal ini bank berperan sebagai pemesan barang nasabah dengan pembayaran secara
kontan. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa akad salam dalam perbankan tidak
selalu mudah untuk menjual kembali barang-barang yang ia jual, baik kepada
pihak ketiga maupun kepada nasabah. Lalu untuk itulah dilakukan akad pararel,
yaitu akad salam dilakukan secara simultan antara bank dan nasabah disatu pihak
dan antara bank barang dipihak lain. Seperti skema di bawah ini:
![]() |
1. Bank
syariah membeli mangga harum manis dari koperasi buah mangga harum manis dengan
menggunakan akad salam untuk satu tahun kedepan dengan harga Rp.20.000 sebanyak
20 ton.
2. Bank
syariah membayar tunai kepada koperasi sebesar Rp. 200.000.000.
3. Bank
syariah menjual kepada pemborong mangga dengan menggunakan akad salam dengan
harga Rp.25.000.
4. Pemborong
membayar tunai kepada bank syariah sebesar Rp.250.000.000.
5. Setelah,
satu tahun berlalu, koperasi petani menggirimkan buah-buah tersebut sesuai
dengan jumlah dan kualitas yang dipesan oleh bank syariah.
6. Bank
syariah menggirimkan buah-buah tersebut kepada pemborong
7. Pemborong
menjual buah-buah tersebut dengan harga Rp.30.000
8. Pemborong
mendapatkan keuntungan dari penjualan mangga di pasar buah[13]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bai' as-salam
artinya pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran
dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah harus diketahui
terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang, dan hukum awal pembayaran
harus dalam bentuk uang. Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang
mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan (sighat).
Sebagaimana
dapat dipahami dari namanya, yaitu as salam yang berarti penyerahan, atau as
salaf, yang artinya mendahulukan. Mengenai keterkaitan
dua ayat yang menjelaskan akad salam tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dari
surat al-maidah dalam bertransaksi harus memenuhi akad-akad yang sudah
ditentukan sesuai perjanjian. Dan dalam surat al-baqoroh dalam bermuamalah secara
tidak tunai, maka harus dicatat dan harus adanya bukti
hitam di atas putih atau bukti penulisan. Adapun penulisan dalam transaksi
tersebut harus diketahui oleh kedua belah pihak bukan hanya melibatkan salah
satu pihak saja, karena jika hanya salah satu pihak yang mengetahui akan
mengakibatkan hal yang tidak diinginkan seperti: penyelewengan penuduhan. Oleh
karena itu, penulisan tersebut dilakukan oleh penulis diluar dari kedua belah
pihak yang bertransaksi dengan cara yang benar dan adil, akan tetapi masih
dalam persaksian diantara keduannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah
bin Abdurrahman Ali Bassam. 2008. Syarah Hadis Pilihan Bukhari Muslim. Jakarta:
Darul Falah
Antonio,
Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek. Jakarta:
Gema Insani Press.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Jalaluddin
Muhammad bin Ahmad Al-Muhilli. 1443 H. Tafsir Al-Qur’an Al’adzim Imam
Jalalain. Sarbani: Imaratullah.
Imam
Abi ‘Abdillah Muhammad Bin Ismail Bin Ibrahim Bin Mughiroh Bin Barzibah Bukhori
Ja’fi. Shohih Bukhori Muslim. Surabaya: Darul ‘ilmi.
Mardani.
2011. Ayat-Ayat Dan Hadis Ekonomi Syariah. Jakara: RajaGrafindo Persada
Mardani.
2011. Ayat-Ayat Dan Hadis Ekonomi Syariah. Jakara: RajaGrafindo Persada
Nawawi,
Ismail. 2012. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia.
Nizar,
Muhammad. 2016. Modul Sekolah Perbankan Syari’ah. Malang: Kurnia
Advertising.
Zuhaily,
Wahbah. 1989. Al-Fiqh Islami Wa Adillatuhu. Darul Fikri, Beirut,
Labanon.
[2] Wahbah Zuhaily.
1989. Al-Fiqh Islami wa Adillatuhu. Darul Fikri, Beirut, Labanon. Hlm:
598-599
[3] Muhammad Syafi’i
Antonio. 2001. Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.
Hlm: 108.
[4] Ismail Nawawi.
2012. Fikih muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia. Hlm: 126
[6] Jalaluddin
Muhammad bin Ahmad Al-Muhilli. 1443 H. Tafsir Al-Qur’an Al’adzim Imam
Jalalain. Sarbani: Imaratullah. Hlm: 44
[7] Imam abi
‘abdillah muhammad bin ismail bin ibrahim bin mughiroh bin barzibah bukhori
ja’fi. Shohih Bukhori Muslim. Surabaya: Darul ‘ilmi. Hlm: 30
[8]
Mardani.
2011. Ayat-Ayat Dan Hadis Ekonomi Syariah. Jakara: RajaGrafindo Persada,
Hlm:130-131
[9] Abdullah bin
Abdurrahman Ali Bassam. 2008. Syarah Hadis Pilihan Bukhari Muslim. Jakarta:
Darul Falah, Hlm: 629.
[10] Muhammad Nizar.
2016. Modul Sekolah Perbankan Syari’ah. Malang: Kurnia Advertising. Hlm:
33
[11] Ibid, hlm: 37
[12] Ibid. Hlm: 39
[13] Ibid. Hlm: 42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar